MAKALAH IMUNOLOGI
HIPERSENSITIVITAS TIPE III
Dosen pengampu : Sodikin S.kep Ners
Disusun oleh kelompok 4 :
1.
Nungki septi N
( 108 109 031 )
2.
Nur Hasim
( 108 109 032 )
3.
Nur Utari Gani ( 108 109 033 )
4.
Restiana Nur Intan P (108 109 034 )
5.
Restu Dwi Iriani
(108 109 035 )
PRODI S1 KEPERAWATAN
STIKES AL IRSYAD AL
ISLAMIYYAH – CILACAP
TAHUN 2011
PEMBAHASAN
HIPERSENSITIVITAS
TIPE III
A. PENGERTIAN
Reaksi
hipersensitif merujuk kepada reaksi berlebihan , tidak diinginkan (menimbulkan
ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan tubuh.
Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut
reaksi hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs ada 4
tipe reaksi hipersensitif yaitu :
1.
Reaksi
hipersensitif tipe I atau reaksi anafilaktik.
2. Reaksi hipersensitif tipe II
atau sitotoksik.
3. Reaksi hipersensitif tipe III
atau kompleks imun.
4. Reaksi hipersensitif tipe IV
atau reaksi yang diperantarai sel.
Berdasarkan
kecepatan reaksinya, tipe I, II dan III termasuk tipe cepat karena diperantarai
oleh respon humoral (melibatkan antibodi) dan tipe IV termasuk tipe lambat.
Reaksi tipe
III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks
antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh
darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau
IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik
makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan
leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi
ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari
granula-granula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim
pembentukan kinin.
B. ETIOLOGI
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri
dari :
1. Infeksi
persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen
mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan
ginjal.
2. Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen
sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh
darah.
3. Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh
adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah paru.
Pada reaksi ini, antigen yang
berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap
adalah paru.Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan
bentuk antigen dan antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan
akut. Jika komplemen diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil
pemecahan C3 dan C5 dan ini akan menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan
permeabilitas pembuluh darah. Faktor-faktor kemotaktik juga dihasilkan, ini
akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai menfagositosis
kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga mengakibatkan pelepasan
zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf yakni berupa
enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein netral),
enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein polikationik yang meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas.
Hal ini akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang
ditimbulkan.
Kerusakan lebih lanjut dapat
disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah diaktifkan menyerang
sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu, trombosit akan
menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang menyediakan
zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan
iskemia setempat.
Kompleks antigen- antibodi
dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :
1. Aktivasi komplemen
2. Melepaskan anafilaktoksin
(C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas histamine
3. Melepas faktor kemotaktik
(C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan enzim
polikationik
4. Menimbulkan agregasi
trombosit
5. Menimbulkan mikrotrombi
6. Melepas amin vasoaktif
7. Mengaktifkan makrofag
8. Melepas IL-1 dan produk
lainnya
Pada reaksi hipersensitivitas
tipe III terdaapt dua bentuk reaksi, yaitu :
1. Reaksi Arthus
Maurice Arthus menemukan
bahwa penyuntikan larutan antigen secara intradermal pada kelinci yang telah
dibuat hiperimun dengan antibodi konsentrasi tinggi akan menghasilkan reaksi
eritema dan edema, yang mencapai puncak setelah 3-8 jam dan kemudian
menghilang. Lesi bercirikan adanya peningkatan infiltrasi leukosit-leukosit
PMN. Hal ini disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks
imun. Reaksi Arthus di dinding bronkus atau alveoli diduga dapat menimbulkan
reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam setelah inhalasi antigen.
Reaksi Arthus ini biasanya
memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah besar. Antigen yang disuntikkan
akan memebentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi atau mengendap pada
dinding pembuluh darah. Bila agregat besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan
C5a yang terbentuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah menjadi edema.
Komponen lain yang bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit
mulai menimbun di tempat reaksi dan menimbulkan stasisi dan obstruksi total
aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama
dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease,
kolagenase, dan bahan vasoaktif.
2. Reaksi serum sickness
Istilah ini berasal dari pirquet dan Schick yang
menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi
seperti difteri dan tetanus dengan antiserum asal kuda. Penyuntikan serum asing
dalam jumlah besar digunakan untuk bermacam-macam tujuan pengobatan. Hal ini
biasanya akan menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai penyakit serum kira-kira
8 hari setelah penyuntikan. Pada keadaan ini dapat dijumpai kenaikan suhu,
pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa, ruam urtika yang tersebar luas,
sendi-sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan konsentrasi komplemen
serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria sementara.
Pada
berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian
memberikan reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal. Hal ini kemudian yang menimbulkan reaksi disertai dengan komplek imun. Contoh dari reaksi ini adalah
:
1. Demam reuma
Infeksi streptococ
golongan A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan jantung, sendi, dan
ginjal. Berbagai antigen dalam membran streptococ bereaksi silang dengan
antigen dari otot jantung, tulang rawan, dan membran glomerulus. Diduga
antibodi terhadap streptococ mengikat antigen jaringan normal tersebut
dan mengakibatkan inflamasi.
2. Artritis rheumatoid
Kompleks yang dibentuk dari
ikatan antara faktor rheumatoid (anti IgG yang berupa IgM) dengan Fc dari IgG
akan menimbulkan inflamasi di sendi dan kerusakan yang khas.
3. Infeksi lain
Pada beberapa penyakit
infeksi lain seperti malaria dan lepra, antigen mengikat Ig dan membentuk
kompleks imun yang ditimbun di beberapa tempat.
4. Farmer’s lung
Pada orang yang rentan,
pajanan terhadap jerami yang mengandung banyak spora actinomycete termofilik
dapat menimbulkan gangguan pernafasan pneumonitis yang terjadi 6-8 jam setelah
pajanan. Pada tubuh orang tersebut, diproduksi banyak IgG yang spesifik
terhadap actynomycete termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi yang
mengendap di paru-paru.
C. MEKANISME HIPERSENSITIVITAS TIPE III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks
imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang
kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi
atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun,
kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran,
atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi
antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks
antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit
autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada
membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi
beberapa organ,
seperti kulit,
ginjal, paru-paru,
sendi, atau dalam
bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu
kompleks imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan
antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum
sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga
sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang
terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan
antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus
clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru
pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru
pembuat keju.
Penyakit hipersensitivitas
yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated) merupakan bentuk yang umum
dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau
permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan
target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik
untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah
pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi
(glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung
merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis,
artritis dan nefritis.
D. PENYAKIT
– PENYAKITNYA
Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral
maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat
dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II
hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang
diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated
(hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut
sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.
Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs
adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam
keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi.
Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.
PENYAKIT OLEH ANTIBODI
DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
TIPE III
Penyakit
hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated)
merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia.
Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai
jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi
antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya
mengendap di pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang
dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh
karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu penyakit sistemis
yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.
Antibodi IgG
dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn menstimulasi fagositosis
sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi, aktivasi komplemen
menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke
tempat terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan
pada reseptor sel organ tersebut.
Antibodi dapat
berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk kompleks imun, yang
kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan jaringan
(reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan
oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.
Sindrom klinik dan
pengobatan
Beberapa
kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan dengan
autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan
pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi
dan kerusakan jaringan yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid.
Pada kasus yang berat, digunakan plasmapheresis untuk mengurangi kadar
autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam darah.
Penyakit oleh kompleks
imun
Penyakit
|
Spesifitas
antibodi
|
Mekanisme
|
Manifestasi
klinopatologi
|
Lupus
eritematosus sistemik
|
DNA,
nukleoprotein
|
Inflamasi
diperantarai komplemen dan reseptor Fc
|
Nefritis,
vaskulitis, artritis
|
Poliarteritis
nodosa
|
Antigen
permukaan virus hepatitis B
|
Inflamasi
diperantarai komplemen dan reseptor Fc
|
Vaskulitis
|
Glomreulonefirtis
post-streptokokus
|
Antigen
dinding sel streptokokus
|
Inflamasi
diperantarai komplemen dan reseptor Fc
|
Nefritis
|
Glomerulonefritis adalah salah satu penyakit hipersensitivitas tipe III
Glomerulonefritis
akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post sterptokokus (GNAPS)
adalah suatu proses radang non-supuratif yang mengenai glomeruli, sebagai
akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di
tempat lain. Penyakit ini sering mengenai anak-anak.7
Glomerulonefritis
akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau
virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan
berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi
glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Sedangkan istilah
akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi klinik selain
menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan
prognosis.
Penyebab Glomerulonefritis
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska
streptokokus timbul setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang
disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12,
18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14
hari setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman
streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis
akut paska streptokokus berkisar 10-15%..3,7
Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada
tahun 1907 dengan alasan bahwa :
1.
Timbulnya
GNA setelah infeksi skarlatina
2.
Diisolasinya
kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A
3.
Meningkatnya
titer anti-streptolisin pada serum penderita.
Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor
alergi mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss.
Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan
disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya:
1.
Bakteri
: streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans, Gonococcus, Leptospira,
Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella typhi dll
2.
Virus
: hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus,
influenza, parotitis epidemika dl
3.
Parasit :
malaria dan toksoplasma
Patofisiologi
Sebenarnya bukan sterptokokus
yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan
terhadap suatu antigen khsus yang merupakan unsur membran plasma sterptokokal
spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi
kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam
membran basalis.selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan
peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju
tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan
membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi,
timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan
selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus
menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang
dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya kompleks
komplomen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel
pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada
mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak
membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.
Menurut penelitian yang
dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus akibat dari reaksi hipersensivitas
tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul dari infeksi) mengendap
di membran basalis glomerulus. Aktivasi kpmplomen yang menyebabkan destruksi
pada membran basalis glomerulus.11
Kompleks-kompleks ini
mengakibatkan kompelen yang dianggap merupakan mediator utama pada cedera. Saat
sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-kompleks ini dapat tersebar dalam
mesangium, dilokalisir pada subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau
menembus membran basalis dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau
antibodi dalam kompleks ini tidak mempunyai hubungan imunologis dengan komponen
glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun, ditemukan
endapan-endapan terpisah atau gumpalan karateristik paa mesangium, subendotel,
dan epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola
nodular atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA
serta komponen-komponen komplomen seperti C3,C4 dan C2 sering dapat
diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh imunoglobulin
ini terkadang dapat diidentifikasi.12,13
Hipotesis lain yang sering
disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh Streptokokus, merubah
IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi terhadap
IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam
sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal.7
Streptokinase yang merupakan sekret
protein, diduga juga berperan pada terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai
kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat
mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen.
Pola respon jaringan
tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang dideposit. Bila
terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat terjadi perubahan
mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapt meluas
diantara sel-sel endotel dan membran basalis,serta menghambat fungsi filtrasi
simpai kapiler. Jika kompleks terutama terletak subendotel atau subepitel, maka
respon cenderung berupa glomerulonefritis difusa, seringkali dengan pembentukan
sabit epitel. Pada kasus penimbunan kronik komplek imun subepitel, maka respon
peradangan dan proliferasi menjadi kurang nyata,
dan membran basalis glomerulus berangsur- angsur menebal dengan masuknya
kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru yang dibentuk pada sisi epitel.
Mekanisme yang bertanggung
jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks imun dalam glomerulus
sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari kompleks
tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-kompleks kecil
cenderung menembus simpai kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi
sepanjang dinding kapiler do bawah epitel, sementara kompleks-kompleks
berukuran sedang tidak sedemikian mudah menembus membran basalis, tapi masuk ke
mesangium. Komplkes juga dapat berlokalisasi pada tempat-tempat lain.
Jumlah antigen pada beberapa
penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal antigen bakteri dapat
dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau dengan terapi spesifik.
Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun dalam glomerulus terbatas
dan kerusakan dapat ringan danberlangsung singkat, seperti pada
glomerulonefritis akut post steroptokokus.1,2
Hasil penyelidikan klinis –
imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses
imunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai
berikut :
1.
Terbentuknya
kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis glomerulus dan
kemudian merusaknya.
2.
Proses
auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan
autoimun yang merusak glomerulus.
3.
Streptococcus
nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama
sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana basalis ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/07/20/mekanisme-reaksi-hipersensitivitas-menurut-gell-dan-coombs/
http://yumizone.wordpress.com/2009/07/28/glomerulonefritis-akut-gna/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar